Senin, 02 Januari 2012

SOP penyusunan tesis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam penulisan usulan penelitian, peneliti harus melakukan identifikasi masalah penelitian sebagai langkah awal. Untuk dapat mengidentifikasi masalah secara baik, perlu dipilih topic yang menarik dan layak untuk diteliti. Dalam latar belakang masalah, peneliti berusaha meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang diusulkan memang penting, dan diperkirakan dapat memberikan kontribusi teoritik atau praktis.
Latar belakang penelitian berisi alasan peneliti untuk melakukan suatu penelitian dengan cara menjelaskan konteks penelitian, mendeskripsikan masalah penelitian, dan menjelaskan bagaimana dan mengapa masalah tersebut perlu diteleiti. Setelah membaca latar belakang, pembaca diharapkan mempunyai gambaran mengenai :
1. Konteks masalah penelitian : situasi yang melatarbelakangi masalah yang perlu diteleiti.
2. Kepentingan penelitian : apa manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian? Siapa yang akan mendapat manfaat ? apakah manfaat tersebut cukup berarti bagi masyarakat dan peneliti ?
3. Apa yang belum diketahui, sehingga kita ingin meneliti masalah tersebut ? apa yang perlu ditingkatkan dan mengapa ?
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat digunakan untuk menilai latar belakang penelitian :
1. Apakah fakta yang disampaikan dalam latar belakang telah menunjukkan bahwa masalah penelitian layak untuk diteliti ?
2. Apakah rumusan masalah penelitian tidak terlalu luas dan kabur ?
3. Apakah masalah penelitian cukup penting untuk diteliti ?
4. Apakah fakta dan uraian dilator belakang relevan dengan rumusan masalah penelitian ?
5. Apakah masalah penelitian telah dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pernyataan interogatif atau membuka peluang penyelidikan ?
Kriteria masalah
Masalah terjadi apabila terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya (das Sollen) dengan apa yang terjadi ( das Sein). Banyak masalah penting yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa masalah tidak perlu diteliti, karena sudah jelas konteks dan penyebabnya, sehingga peneliti tidak perlu mengumpulkan data untuk menjelaskan masalah tersebut. Salah satu cirri masalah yang dapat dikembangkan menjadi masalah penelitian adalah jika permasalahan tersebut dapat diselidiki melalui pengumpulan dan analisis data.
Masalah penelitian sering dirumuskan sebagai hubungan antara dua konstruk atau lebih yang masih perlu dijabarkan secara operasional, sehingga data dapat dikumpulkan dan disanalisis untuk menghasilkan kesmpulan tentang hubungan tersebut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan permasalahan penelitian antara lain : prioritas masalah yang dihadapi oleh suatu institusi atau masyarakat, dan apakah masalah tersebut dapat diteliti.
Suatu masalah dapat diangkat menjadi masalah penelitian jika memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemampulaksanaan (feasibility), menarik, memberikan sesuatu yang baru, etis dan relevan. Kelima hal tersebut sudah dirumuskan oleh Hulley dan Cummings dengan singkatan FINER (feasible, interesting, novel, etichal, relevant). Feasible artinya layak dari segi dana, waktu, alat, dan keahlian, dan tersedianya subjek penelitian) interesting apabila suatu masalah menarik bagi peneliti, novel yaitu membantah atau mengkonfirmasi, menambah atau mengembangkan penemuan/penenlitian terdahulu dan menemukan sesuatu yang baru, etichal yaitu tidak bertentangan dengan etika penelitian , relevant yaitu relevan bagi ilmu pengetahuan dan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.
B. Perumusan masalah
Perumusan masalah merupakan kalimat-kalimat ringkas, yang dapat mengarahkan penelusura atas teori-teori yang sesuai dengan dengan masalah penelitian, dan bukti-bukti empirik yang mendukung atau menolak teori-teori tersebut . Ada beberapa kriteria dalam menuliskan perumusan masalah yang baik, yakni :
1. Masalah sebaiknya dirumuskan dengan ringkas, akurat dan memungkinkan penjelasan atau pengujian secara empiris. Rumusan masalah dapat mempersoalkan hubungan atau perbedaan.
2. Rumusan masalah dapat berbentuk kalimat tanya.
3. Walaupun masalah yang diteliti bersifat kompleks, rumusan masalah harus sedemikian jelas, sehingga tidak ditafsirkan secara berbeda – beda.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan pernyataan peneliti mengenai hasil akhir yang akan dicapai pada akhir penelitian ini. Perumusan tujuan penelitian memberikan arahan dalam penyusunan tinjauan pustaka, perumusan hipotesis, dan metode penelitian yang dipilih. Pernyataan tujuan penelitian mempertajam sasaran yang dicapai melalui penelitian, sekaligus juga membatasi lingkup penelitian agar tidak terlalu luas atau berubah-rubah selama penelitian berlangsung.
Tujuan penelitian sebaiknya dinyatakan dalam kalimat yang jelas dan spesifik, sehingga tidak memberikan pengertian ganda (ambiguous). Pernyataan tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai deskripsi, mengidentifikasi kuat hubungan dan efek suatu faktor terhadap kejadian yang terkait dengan kesehatan, dan penjelasan (explanatory) atas permasalahan penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Pernyataan tentang manfaat penelitian menunjukkan secara eskplisit kontribusi hasil penelitian dalam pengembangan teori, perumusan kebijakan atau aplikasi hasil penelitian untuk meningkatkan kinerja , efisiensi dan pemerataan kesehatan pada tingkat individu maupun organisasi. Manfaat penelitian dinyatakan untuk mendukung bahwa penelitian layak dilakukan, dan merupakan justification alokasi sumber daya untuk melakukan penelitian, manfaat penelitian secara spesifik dapat diperoleh oleh stakeholder, misalnya individu dan masyarakat, atau organisasi dan seringkali baru diketahui ketika penelitian tersebut diterbitkan dijurnal ilmiah dan mendapat respon dari peneliti lain, namun peneliti harus menempatkan hasil penelitian yang dicapainya dalam konteks evolusi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian mencerminkan kemampuan mahasiswa untuk menelusuri dan mengidentifikasi penelitian terdahulu yang relevan dengan topic penelitiannya. Setiap penelitian dilakukan dalam konteks lingkungan yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, seklaipun penelitian tersebut merupakan replikasi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Pernyataan tenang keaslian penelitian meliputi identifikasi penelitian sebelumnya yang sangat relevan dan perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan.
Perbedaan dengan penelitian terdahulu dapat meliputi kerangka teori, penerapan teori dalam situasi spesifik atau populasi khusus, atau generalisasi teoripada populasi yang lebih luas, kerangka konsep, rancangan penelitian, instrument penelitian, dan teknik analisis atau pemodelan data.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
Telaah pustaka adalah presentasi, klasifikasi dan evaluasi tentang apa yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti lain mengenai suatu subyek tertentu. Tinjauan pustaka disusun berdasarkan tujuan penelitian, pertanyaan penelitian dan masalah yang akan dipecahkan
Tinjauan pustaka mempunyai dua bagian utama meskipun bagian-bagian tersebut tidak diidentifikasikan secara formal :
1. Dimulai dengan membuat garis besar apa yang telah dikerjakan orang lain dalam hal tertentu yang menjadi perhatian peneliti
2. Secara progresif menyempit menjadi kesenjangan dalam penelitian.
Pada tahap kedua hasil penelitian orang lain digunakan untuk mempertegas dan memperjelas kesenjangan ini, kemudian pernyataan ini dan hipotesis diajukan dengan tepat sebelum penelitian dimulai. Jadi perlu dilakukan tinjauan pustaka terlebih dahulu agar kemudian peneliti dapat menyusun pertanyaan penelitian atau hipotesis.
Pertanyaan penelitian dan hipotesis memberikan petunjuk pada proses penulisan tinajuan pustaka. Pertanyaan penelitian dan hipotesis tersebut tidak secara formal dinyatakan setelah akhir tinjauan pustaka. Sebalikanya tinajuan pustaka diperlukan agar akhirnya peneliti dapat sampai pada pernyataan penelitian dan hipotesis yang kuat.
Didalam menulis tinjauan pustaka, peneliti perlu menunjukkan kemampuan intelektualnya untuk mengenal informasi yang relevan, mensintesis dan mengevaluasinya menurut hipotesis yang telah dikembangkan dan dijadikan panduan. Untuk melakukan hal ini peneliti harus mampu menunjukkan bahwa ia dapat melakukan penelusuran kepustakaan dengan efisien, baik secara manual maupun computer, untuk mengidentifikasi makalah dan buku yang mungkin bermanfaat, dan melakukan kajian kritis atas informasi yang diperoleh yatu dengan menerapkan kaidah-kaidah analisis untuk mengidentifikasi penelitian yang tidak bias dan valid.
Tinjauan pustaka bukan hanya merupakan suatu ringkasan tetapi sintesis hasil pencarian informasi yang disusun secara konseptual :
1. Mengorganisasikan informasi dan menghubungkannya dengan pertanyaan penelitian atau hipotesis yang dikembangkan.
2. Mensintesis hasil menjadi ringkasan mengenai apa yang sudah dan apa yang belum diketahui.
3. Mengidentifikasi beda pendapat yang ada dipustaka.
4. Mengembangkan pertanyaan untuk penelitian lebih lanjut.
1. Kerangka Teori
Ketika mulai melakukan tinjauan pustaka kita akan segera menemukan bahwa masalah yang akan diteliti mempunyai akar dalam sejumlah teori yang telah dikembangkan dari perspektif yang berbeda. Informasi yang diperoleh dari bermacam-macam buku dan jurnal sekarang perlu dipisah-pisahkan sesuai dengan tema pokok dan teorinya, menyoroti kesepakatan dan ketidaksepakatan antar penulis dan mengidentifikasi pertanyaan yang belum terjawab atau kesenjangan yang masih ada. Kita juga akan menyadari bahwa pustaka berurusan dengan sejumlah aspek yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan topic penilaian kita. Gunakan aspek ini untuk mengembangkan kerangka teori. Tinajauan pustaka harus dapat memisah-misahkan informasi tersebut dalam kerangka ini. Kalau tinjauan pustaka dilakukan tidak dalam kaitan dengan kerangka ini maka kita tidak akan dapat mengembangkan focus pada waktu melakukan tinjauan pustaka. Kerangka teori memberikan panduan kepada kita pada waktu kita membaca pustaka. Jadi terdapat paradox disini , peneliti tidak akan dapat mengembangkan kerangka teori kalau peneliti belum mempelajari pustaka. Sebaliknya , kalau peneliti belum mempunyai kerangka teori maka peneliti tidak akan dapat membaca pustaka dengan efektif. Penyelesaiannya adalah dengan membaca beberapa pustaka, kemudian mencoba mengembangkan kerangka teori yang mungkin masih onggar tetapi dapat digunakan untuk merencanakan pustaka yang harus selanjutnya dibaca.
2. Keangka Konsep
Kerangka konsep berasal dari kerangka teori dan biasanya berkonsentrasi pada satu bagian dari kerangka teori. Kerangka teori terdiri dari teori-teori atau isyu-isyu dimana penelitian kita terlibat didalamnya sedangkan kerangka konsep menggambarkan aspek-aspek yang telah dipilih dari kerangka teori untuk dijadikan dasar masalah penelitiannya. Jadi kerangka konsep timbul dari kerangka teori dan berhubungan dengan masalah penelitian yang spesifik.
Kerangka konsep lazimnya disajikan dalam bentuk bagan yang berisi suatu rangkaian konstruk atau konsep, definisi dan proporsi yang saling berhubungan yang menyajikan pandangan sistematis tentang suatu fenomena dengan mencirikan hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut.
B. Landasan Teori
Landasan teori dimaksudkan untuk menjadi dasar bagi penelitian yang akan dilakukan. Dalam landasan teori dijelaskan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian. Berbeda dengan tinjauan pustaka maka landasan teori lebih bersifat obyektif dalam arti bahwa yang diungkapkan disini adalah konsep dan teori yang telah dikenal dan dipahami secara luas oleh masyarakat peneliti dalam bidang yang dimaksud.
C. Hipotesis Dan Pertanyaan Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variable atau lebih. Hipotesis selalu mengambil bentuk kalimat pernyataan dan secara umum maupun khusus menghubungkan variabel yang satu dengan variabel yang lain. Jika penelitian bersifat eksploratif dan memakai prosedur penelitian kualitatif maka tinjauan pustaka tidak akan menghasilkan hipotesis tetapi menghasilkan suatu pertanyaan penelitian yang akan dijawab oleh penelitian yang direncanakan. Pada dasarnya penelitian eksploratif bersifat kualitatif dan mempertanyakan variabel-variabel apa saja yang terlibat. Sebaliknya penelitian eksplanatori bersifat kuantitatif dan mempersoalkan hubungan antar variabel. Dugaan sementara tentang hubungan ini disajikan dalam bentuk hipotesis.
Ada dua kriteria untuk hipotesis yang baik, pertama hipotesis adalah pernyataan tentang hubungan antara variabel-variabel. Kedua, hipotesis mengandung implikasi yang jelas untuk pengujian hubungan yang dinyatakan itu. Kriteria itu berarti bahwa pernyataan hipotesis mengandung dua variabel atau lebih yang dapat diukur, atau berkemungkinan untuk dapat diukur, dan bahwa pernyataan hipotesis menunjuk secara dan tegas cara variabel-variabel itu berhubungan.
Hipotesis penelitian member arah dan petunjuk untuk penelitian. Mereka menunjukkan variabel bebas dan variabel tergantung yang akan diteliti. Mereka member arahan data macam apa yang harus dikumpulkan dan jenis analisis yang harus dikerjakan untuk mengukur hubungan. Hipotesis yang ditulis dengan baik memusatkan perhatian peneliti pada variabel-variabel spesifik.


BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini berisi uraian yang menjelaskan secara rinci tentang bagaimana suatu peneitian dilakukan. Penjelasan ini akan menuntun seorang peneliti tentang langkah-langkah yang akan dilalui untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan.
A. Rancangan penelitian
1. Penelitian Kuantitatif
a. Jenis dan Rancangan Penelitian Kuantitatif
1. Penelitian deskriptif
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk memotret suatu kondisi atau fenomena yang terjadi pada suatu kelompok subjek tertentu. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengukur magnitude suatu masalah atau fenomena, tanpa membuat kesimpulan yang bersifat sebab akibat.
2. Penelitian analitik
Penelitian analitik bertujuan untuk mengkaji kausa atau determinan dari suatu fenomena. Jadi dalam penelitian analitik dibuat satu kesimpulan yang sifatnyasebab akibat. Hubungan sebab akibat seperti itu tidak selalu bersifat kausal, tetapi juga bisa korelasional. Dalam penelitian analitik determinan yang hendak diukur pengaruhnya tersebut sudah terjadi sebelumnya (ex post facto) dan tidak di intervensi oleh penelitinya. Penelitian analitik dibagi menjadi : Penelitian potong lintang (cross-sectiona study),penelitian kasus pembanding ( case control study), dan penelitian kohor (cohort study).
3. Penelitian eksperimental
Penelitian eksperimental adalah suatu penelitian yang penelitinya memiliki otoritas untuk memberikan perlakuan (intervensi) kepada subjek penelitian Lazimnya digunakan dua atau lebih kelompok penelitian, dan tiap kelompok menerima perlakuan yang berbeda.
Penelitian eksperimental murni terdiri dari :
a) Rancangan acak lengkap (completely randomized design)
b) Rancangan factorial (Factorial design)
c) Rancangan sama subjek (Within subject design)
d) Rancangan pola silang ( Cross over design)
e) Rancangan blok lengkap teracak (Randomized complete block design)
f) Rancangan blok tak lengkap berimbang (Balanced complete block design)
Rancangan dalam penelitian eksperimental kuasi, diantaranya adalah :
a) Rancangan pretest dan posttest (One group pretest-postest design)
b) Rancangan Solomon (Randomized soloman for four group design)
c) Rancangan pretest dan posttest dengan kelompok kontrol (Pretest- posttest with comtrol group design)
2. Penelitian Kualitatif
Creswell (1988) mendefinisikan penelitian ini sebagai suatu proses untuk memperoleh pemahaman menggunakan prinsip metodologi tertentu yang mampu mengeskplorasi masalah social atau manusia. Peneliti mengembangkan pendapat responden (perspektif emik), serta menelitinya dikonteks yang sesungguhnya (alamiah). Rancangan, proses pengumpulan data serta strategis analisis data dilakukan secara kualitatif.
3. Penelitian Studi Kasus
Studi kasus adalah salah satu metode penelitian yang diterapkan dalam ilmu-ilmu social. Studi kasus mempelajari pertanyaan penelitian yang menanyakan “bagaimana” atau “ mengapa”. Menurut Yin (1994) studi kasus adalah suatu inklusi empiris yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan yang nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks yang dipelajari tidak tampak dan tegas dan bila multi sumber bukti dibutuhkan.
Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi 3 jenis penelitian yanitu penelitian studi kasus eksploratori, deskriptif dan eksplanatori (kausal). Studi kasus eksploratori bertujuan untuk merumuskan pertanyaan atau hipotesis dari suatu penelitian (yang belum tentu menggunakan studi kasus) atau menetapkan kelayakan dari suatu prosedur penelitian yang diinginkan, cara pengumpulan dat, bahkan strategis analisis data. Apabila hal-hal tersebut telah ditetapkan, maka studi kasus eksplanatori pun berakhir. Studi kasus deskriptif menyajikan deskripsi lengkap dari suatu fenomena yang diamati dalam konteks yang nyata. Sedangkan studi kasus eksplanatori berusaha membuktikan suatu hubungan sebab akibat, dengan memberikan penjelasan terhadap fenomena yang diamati.
B. Subjek Penelitian
Deskipsi tentang subjek penelitian mencakup batasan populasi besar sampel, dan cara pengambilan sampel.
1. Batasan Populasi
Yang dimaksud dengan populasi adalah kelompok subjek yang menjadi sasaran penelitian. Sasaran penelitian semacam itu bisa berupa manusia, bisa berupa binatang, dan dapat pula berupa benda mati. Batasan populasi mendeskripsikan ciri-ciri kelompok kearah mana hasil penelitian ini akan digeneralisasikan. Ciri-ciri tersebut bisa berupa ciri lokasi geografik atau administartif, karakteristik subjek , karakteristik penyakit. Pembatasan populasi ini didasarkan atas masalah dan tujuan penelitian. Secara eksplisit batasan populasi dapat dinyatakan dalam kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Perekrutan subjek penelitian dilakukan terhadap subjek yang ditemui, dengan melakukan dua kali saringan. Saringan pertama disebut kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah batasan-batasan yang mengijinkan subjek masuk kedalam penelitian. Tetapi tidak semua subjek yang masuk saringan pertama otomatis boleh terlibat dalam penelitian, yakni jika mereka memiliki kontra indikasi tertentu. Saringan kedua inilah yang disebut kriteria eksklusi.
2. Besar Sampel
Suatu penelitian seharusnya dilakukan terhadap seluruh anggota populasi. Akan tetapi, penelitian terhadap seluruh anggota populasi sangat memerlukan dukungan dana, peralatan, waktu dan tenaga yang sangat besar. Bila peneliti tidak memiliki sumber daya yang cukup, atau jika suatu penelitian bersifat destruktif, atau sutau penelitian populasinya hipotesis, maka peneliti “terpaksa” meneliti “ hanya” terhadap sebagian anggota populasi saja.Sebagian populasi tersebut disebut sampel. Besar sampel harus ditentukan dengan menggunakan rumus yang sesuai.
3. Cara Pengambilan Sampel
Pengambila sampel meliputi : teknik pengambilan sampel probabilistic dan teknik pengambilan sampel non probabilistik. Teknik pengambilan sampel probabilistik meliputi : pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling), pengambilan sambil sistematis (systematic sampling), pengambilan sampel acak stratifikasi (stratifikasi random sampling), pengambilan sampel kelompok (cluster sampling) dan pengambilan sampel bertingkat (multistage sampling). Pengambilan sampel non-probabilistik meliputi : sampling aksidental atau seadanya (accidental sampling, convenience sampling), sampling purposive (purposive sampling), sampling kuota (quota sampling), sampling bola salju (snowball sampling). Adakalanya sampel diambil dengan cara menyetarakan (mencocokkan) ciri-ciri individu kelompok lainnya. Pengambilan sampel dengan cara menyetarakan ini disebut matching. Matching juga termasuk dalam pengambilan sampel non probabilistic.
C. Identifikasi Variabel penelitian
Bagian ini mendeskripsikan tentang variabel atau faktor yang diamati (diteliti) dalam suatu peneliti. Penetapan variabel penelitian didasarkan atas kerangka konsep yang telah dibangun berdasarkan tinjauan pustaka. Variabel – variabel penelitian dikelompokkan menurut fungsinya, yaitu variabel pengaruh (independent variable, variabel bebas), variabel terpengaruh (dependent variable, variable terikat), variabel pengganggu (nuisance variable), dan variable terkendali. Dalam penelitian tertentu dikenal juga variabel antara (intervening variable) dan variabel moderator.
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel adalah penjelasan tntang bagaimana suatu variabel akan diukur serta alat ukur apa yang digunakan untuk mengukurnya. Jadi definisi ini mempunyai implikasi praktis dalam proses pengumpulan data. Definisi operasional variabel bukanlah definisi teoritis. Tidak semua variabel perlu diberikan definisi operasionalnya, hanya variabel-variabel yang mempunyai lebih dari satu cara pengukuran, atau variabel yang pengukurannya spesifik, atau variabel yang belum memiliki alat ukur standard an perlu dikembangkan alat ukur oleh peneliti.
E. Instrumen Penelitian
Alat ukur penelitian bisa berupa alat ukur standar seperti timbangan, thermometer, dan sebagainya. Alat ukur juga bisa berupa indeks, misalnya indeks massa tubuh, indeks disabilitas, dan sebagainya. Alat ukur juga bisa berupa kuesioner yang terbagi menjadi kuesioner tertutup dan terbuka. Alat ukur yang berupa kuesioner lazimnya tidak standar, dalam arti tidak terbakukan untuk bisa digunakan dimanapun. Dalam banyak penelitian, peneliti terpaksa harus menyusun sendiri kuesioner tersebut. Jika peneliti mengembangkan sendiri alat ukur yang akan digunakan, misalnya kuesioner, maka peneliti harus mengkaji apakah alat ukur tersebut baik. Alat ukur disebut baik jika memiliki dua atribut, yaitu valid (sahih) dan reliable (terpercaya). Untuk itu peneliti harus melakukan kajian untuk mengukur dan meningkatkan validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut, dengan cara melakukan uji coba (try out). Harus dijelaskan bagaimana uji coba tersebut dilaksanakan, dalam hal : kapan, dengan metode apa, siapa subjek yang dikenai uji coba, analisis datanya, dan bagaimana hasilnya.
F. Cara Analisis Data
Cara analisis data menjelaskan tentang bagaimana seorang peneliti mengubah data hasil penelitian menjadi informasi yang dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan penelitian.
G. Etika Penelitian
Dalam bagian ini diuraikan bahwa peneliti telah melakukan langkah-langkah atau prosedur yang berkaitan dengan etika penelitian, terutama yang berhubungan dengan perlindungan terhadap subjek penelitian, baik berupa manusia, hewan coba, institusi, atau system dalam suatu institusi.
H. Keterbatasan Penelitian
Tidak ada penelitian yang sempurna. Setiap penelitian pasti memiliki keterbatasan. Dalam bagian ini disajikan keterbatasan peneliti secara teknis yang mungkin mempunyai dampak secara metodologis maupun substantif.
I. Jalannya Penelitian
Dalam bagian ini disajikan langkah-langkah yang dilakukan peneliti secara kronologis dalam proses penelitian. Uraian ini penting, karena dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian dapat mempengaruhi hasil penelitian. Kecuali itu disajikan pula penyimpangan dari rencana semula yang terpaksa harus dilakukan karena adanya keterbatasan-keterbatasan penelitian. Harus dijelaskan penyimpangan tersebut tidak mempengaruhi validitas penelitian. Jika hal itu mempengaruhi hasil penelitian, haruslah dijelaskan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh peneliti untuk mengurangi pengaruh tersebut seminimal mungkin.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Hasil Penelitian
Hasil suatu penelitian dapat disajikan melalui tiga jenis penyajian yakni : penyajian tekstual, penyajian tabular dan penyajian grafik. Lazimnya peneliti menyajikan dengan kombinasi dua teknik, yaitu tekstual dan tabular, dan / atau tekstual dan grafik. Maksudnya data disajikan melalui teks secara naratif, kemudian informasi yang sama juga disajikan lagi dengan menggunakan tabel atau grafik. Dalam penyajian tekstual, peneliti diwajibkan untuk mendeskripsikan data sejelas dan sederinci mungkin, tetapi tidak harus menyajikan semua hal. Yang harus disajikan secara naratif adalah hal-hal yang menonjol dari data tersebut, misalnya persentase (frekuensi) terbesar, persentase (frekuensi) terkecil, rerata terbesar, rerata terkecil, atau perbedaan (selisih) terbesar, perbedaan terkecil dan perbedaan atau hubungan yang bermakna. Informasi lain yang lebih detail bisa diperoleh oleh pembaca dari tabel atau hubungan yang bermakna. Informasi lain yang lebih detail bisa diperoleh oleh pembaca dari tabel atau grafik.
B. Pembahasan
Esensi dari pembahasan adalah menjelaskan mengapa hasil penelitian yang dilakukan seperti itu. Penjelasan harus dibuat bukan hanya jika hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesis, bahkan sesuaipun harus dibuat penjelasannya. Uraian tersebut memuat penjelasan secara teoritik, tentang mekanisme mengapa hasilnya seperti itu. Uraian juga harus menjelaskan posisi hasil penelitian ini dengan hasil penelitian- penelitian terdahulu, apakah sama atau berbeda. Penjelasan mengapa hasil penelitian yang dilakukan seperti itu, dapat dilakukan dengan focus pada aspek teoritik dan aspek metodologis. Pada aspek teoritis perlu dijelaskan dan dibandingkan antara premis-premis yang sudah digunakan untuk membangun hipotesis dengan kenyataan empiris dilapangan. Bila teori yang ada masih belum mampu menjelaskan fenomena tersebut, maka dapat digunakan asumsi-asumsi ilmiah, dengan menggunakan logika, baik deduktif maupun induktif. Pada aspek metodologis, perlu disadari bahwa tidak ada penelitian yang sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi hasil penelitian. Dalam kaitannya dengan hal ini, peneliti perlu mengkaji kemungkinan hasil penelitian tersebut dipengaruhi oleh kontribusi langkah-langkah metodologis yang telah dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

Creswell JW. Qualitative inquiry and research design : Choosing among five traditions. London : Sage Publications, 1998
Dahlgreen L,Emmelin M, Winkvist A. Qualitatif methodology for international public health.Sweden : Umea University ; 2004
Utarini A. mengenal paradigm dan rancangan penelitian kualitatif. Naskah tulisan buku (in progress) ; 2005
WHO. Qualitative research for health programmes. Geneva : WHO Division of Mental Health ; 1994
Yin,RK. Case study research : design and methods. Second edition. London : Sage Publications ; 1994
Yin,RK. Applications of case study research. Second edition. London : Sage Publications ; 2003

Perencanaan bidang farmakmin 2012

PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE
DINAS KESEHATAN
Jl. Inolobunggadue II/323. Telp : (0408) 21011,Fax(0408)22302
UNAAHA


USULAN PERENCANAAN BIDANG FARMAKMIN
SEKSI MAKANAN, MINUMAN DAN KOSMETIKA


1. Bintek sarana industrI rumah tangga
2. Bintek sarana rumah makan, catering(JASA BOGA), kantin
3. Bintek sarana depot air minum
4. Bintek sarana distribusi makanan
5. Bintek sarana distribusi kosmetika (salon)
6. Penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT
7. Melaksanakan uji layak sehat pada rumah makan, catering (JASA BOGA), kantin, dan depot air minum.



Mengetahui
Kabid Farmakmin dan Regdit Perizinan Kesehatan


(dr. H. Mardi Santosa,M.Kes)

inspiration

Engkau yang muda dan yang belum pasti mengenai seperti apa belahan jiwamu nanti, dengarlah ini …

Jika engkau merindukan kekasih yang akan memuliakanmu, yang membesarkan keluargamu, dan yang mengharumkan namamu,

jadilah pribadi yang memuliakan sesama, yang menyayangi keluarga, dan yang berhati-hati dengan kebaikan namamu di masyarakat.

Wanita yang baik, untuk lelaki yang baik.
Dan lelaki yang baik, untuk wanita yang baik.

KEINDAHAN PRIBADIMU MENENTUKAN KEINDAHAN PENDAMPINGMU.

Mario Teguh - Loving you all as always

penyuluhan keamanan kosmetika

Penyuluhan Keamanan Kosmetika

Kesadaran masyarakat tentang keamanan kosmetika yang digunakannya sudah semakin meningkat sejalan dengan munculnya berbagai kasus dampak penggunaan bahan berbahaya dalam kosmetika secara terbuka. Akan tetapi, kesadaran untuk memperhatikan kehalalan bahanyang terkandung dalam kosmetika masih sangat rendah untuk beberapa masyarakat.Seperti seseorang yang sudah fanatik akan suatu produk Kesadaran konsumen yang rendah dengansendirinya tidak memunculkan tuntutan kepada produsen untuk memperhatikan kehalalan bahan- bahan yang digunakan. Hal ini berkorelasi positif dengan rendahnya minat produsen kosmetika mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal. Beberapa produsen pernahmencoba mendaftarkan diri, akan tetapi perlahan-lahan mundur teratur tidak melanjutkan proses sertifikasi.Kondisi di atas tentunya menjadikan masyarakat perlu lebih meningkatkan pengetahuan tentang kehalalan bahan kosmetika agar dapat memilah dan memilih kosmetika yang akan digunakannya. Akan tetapi pengetahuan ternyata tidak cukup untuk menentukan pilihan karena sampai saat ini masih belum banyak produk kosmetika yang mau mencantumkan komposisi bahan penyusun produknya pada label kemasan. Pada umumnya produsen hanya mencantumkan bahan aktif yang digunakan, bahkan masih sangat banyak yang tidak mencantumkan sama sekali. Menghadapi kenyataan ini, berikut disampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan langkah yang dapat ditempuh dalam memilih kosmetika yang aman dan halal.
Legalitas produk
Pilihlah produk kosmetika yang legal. Hal ini ditunjukkan dengan dicantumkannya nomor pendaftaran di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kode pendaftaran untuk produk kosmetika lokal adalah CD, sedangkan untuk produk impor memiliki kode CL. Legalitas produk merupakan hal yang penting sekali diperhatikan karena saat ini di pasaran telah banjir berbagai produk kosmetika dengan penawaran khasiat dan harga yang menarik, tetapi tidak terdaftar secara di BPOM. Produk-produk illegal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban jikanantinya terjadi efek samping pada pengguna
Daftar komposisi yang terkandung dalam kosmetika
Dengan berbekal pengetahuan tentang bahan-bahan kosmetika, konsumen dapat memilihkosmetika mana yang aman dan halal untuk dipakai. Untuk mengetahui hal ini tentunyakonsumen perlu mengetahui jenis-jenis bahan yang dikandung dalam produk kosmetika yangakan dipilihnya. Informasi ini dapat diketahui jika produsen dengan jujur mencantumkan daftar bahan yang digunakan pada label kemasan. Sayangnya sampai saat ini masih sangat sedikit produsen yang mau melakukannya. Minimal produsen hanya mencantumkan bahan aktif yangterkandung dalam produknya, sedangkan sebagian besar hanya mencantumkan khasiat tanpaketerangan bahan sama sekali. Menghadapi kondisi seperti ini konsumen harus lebih ulet lagimencari jalan untuk mendapatkan informasi, atau mencari alternatif produk lain yang lebihinformatif.
Nama dan alamat produsen
Banyak dari kita yang menyepelekan hal ini, padahal sebenarnya hal ini juga merupakan sesuatuyang penting untuk kita ketahui.Nama dan alamat jelas produsen harus jelas tercantum pada labelkemasan sehingga konsumen akan mudah mencari informasi dan mengajukan tuntutan jikaterjadi hal-hal yang merugikan akibat penggunaan produk yang diproduksinya. Produsen yang baik biasanya mencantumkan nomor khusus untuk pelayanan konsumen serta alamat situs webyang dapat dihubungi. Sebaliknya tidak jarang produsen tidak memberikan alamat kontak, bahkan tidak menyebutkan nama produsen dan alamat sama sekali.
Informasi
Jika komposisi bahan tidak tercantum pada label kemasan, konsumen dapat mencari informasi langsung kepada pihak produsen. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan jika produsenmemberikan informasi lengkap alamat layanan konsumen yang dapat dihubungi, baik melaluitelepon, fax ataupun email. Berdasarkan pengalaman, produsen agak alergi jika ditanya soalkehalalan bahan yang digunakan. Hal ini mungkin karena halal merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia. Informasi tentang ada tidaknya kandungan bahan hewani dalam produknya biasanya lebih mudah diberikan produsen jika konsumen bertanya tidak dengan alasan halal,melainkan alasan kesehatan, misalnya alergi.Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan dan
langkah yang dapat ditempuh oleh konsumen dalam mendapatkan informasi tentang keamanan dan kehalalan produk kosmetika yang akan digunakannya. Tidak mudah memang mendapatkaninformasi yang dibutuhkan. Konsumen kosmetika di Indonesia masih sangat miskin informasidan memerlukan usaha keras dan jalan panjang untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.Hal ini hendaknya tidak menyurutkan langkah untuk berusaha agar hak-hak konsumen dalammendapatkan informasi yang benar dapat terpenuhi. Jika konsumen tidak peduli dengan haknya,maka produsen pun tidak akan pernah tergerak dan merasa tertuntut untuk memberikan hak konsumen. Jadi marilah kita mulai saat ini dan dari kita sendiri.Sebagai seorang farmasis dan juga masyarakat awam, kita patut peduli akan kehalalan suatu produk.Sebagai farmasis sebaiknya kita memberi penyuluhan maupun informasi sebanyak- banyaknya pada masyarakat akan maraknya peredaran kosmetik berbahaya dan tidak berlabel halal dan sebagai masyarakat pun kita harus pintar dalam memilih suatu produk.


Badan POM telah memerintahkan untuk menarik dari peredaran produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya / bahan dilarang Merkuri, Hidrokinon, Asam Retinoat, Zat Warna Merah K.3 (CI 15585), Merah K.10 (Rhodamin B) dan Jingga K.1 (CI 12075), sebanyak 70 (tujuh puluh) item sebagaimana terlampir.

Berbagai resiko dan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan Bahan Berbahaya Bahan Dilarang adalah sebagai berikut :

• Merkuri (Hg) / Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam konsentrasi kecilpun dapat bersifat racun. Pemakaian Merkuri (Hg) dapat menimbulkan berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, kerusakan permanen pada susunan syaraf, otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin bahkan paparan jangka pendek dalam dosis tinggi dapat menyebabkan muntah-muntah, diare dan kerusakan ginjal serta merupakan zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia.

• Hidrokinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan berdasarkan resep dokter. Bahaya pemakaian obat keras ini tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar, bercak-bercak hitam.

• Asam Retinoat / Tretinoin / Retinoic Acid dapat menyebabkan kulit kering, rasa terbakar, teratogenik (cacat pada janin).

• Bahan pewarna Merah K.3 (CI 15585), Merah K.10 (Rhodamin B) dan Jingga K.1 (CI 12075) merupakan zat warna sintetis yang umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil atau tinta. Zat warna ini merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Rhodamin B dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati.

contoh proposal penelitian "komunikasi politik"

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Penelitian

Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, secara normatif sebagaimana ditekankan dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 bahwa:“ Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Konsekuensi dari sebuah negara kesatuan adalah keharusan untuk melakukan pemencaran kewenangan (speriding van matchen) kepada daerah-daerah berdasarkan sistem desentralisasi, yang terwujud melalui pemberian otonomi kepada daerah-daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintah negara. Sejalan dengan hal ini Kuntana Magnar (1984 : 17), menyatakan bahwa :
Desentralisasi sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, terutama dalam kaitannya dengan otonomi daerah merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari cita-cita membentuk dan membangun tata pemerintahan negara kesatuan Indonesia merdeka. Hasrat untuk mempergunakan sistem desentralisasi dengan memberikan hak otonomi kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan sekedar reaksi terhadap system penyelenggaraan Hindia Belanda yang sentralistik, melainkan atas dorongan untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis dimana seluruh rakyat turut serta dalam bertanggung jawab.
Dapat dikatakan bahwa salah satu aspek konstitusional penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia adalah persoalan yang berkaitan dengan otonomi daerah sebagai subsistem dari system penyelenggaraan pemerintahan dalam negara yang berbentuk kesatuan (Bagir Manan, 2001 : 21).
Berangkat dari pemikiran di atas, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa fenomena negara kesatuan yang mutakhir ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah tidak berjalan, mengindikasikan adanya system sentralistik yang sama sekali tidak mencerminkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang dianut dalam konsepsi negara kesatuan. Seperti halnya prinsip-prinsip otonomi daerah yang dianut dalam ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang telah menganut prinsip dasar otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Adanya desentralisasi kewenangan kepada daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab tersebut, sesungguhnya termasuk didalamnya pembagian kewenangan menetapkan peraturan perundang-undangan untuk menyelenggarakan pemerintah daerah, yang salah satu bentuk hukumnya adalah peraturan daerah (perda). Dalam hal ini Bagir Manan (2001 : 70-71), menyatakan bahwa :
Daerah otonom sebagai suatu pemerintahan mandiri yang memiliki wewenang atributif, lebih-lebih sebagai subjek hukum berwenang membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang mengatur ini ada pada pemerintah daerah (pejabat administrasi negara) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislatif di daerah. Perda merupakan pelaksanaan fungsi legislatif daerah.
Secara arumentatif dapat dinyatakan bahwa kewenangan pemerintah daerah membentuk perda merupakan cirri utama adanya satuan pemerintahan otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya secara mandiri. Perda merupakan instrument hokum yang dibuat oleh pemerintah di daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya untuk mewujudkan otonomi yang dimiliki, disamping sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hakekat perda sebagai sarana implementasi hukum atas peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, merupakan instrument pengatur setiap pelimpahan tugas dan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi.
Proses pembentukan perda merupakan kewenangan pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah (dalam hal ini adalah eksekutif) dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sejalan dengan hal tersebut, DPRD sebagai lembaga legislative yang merupakan representasi dari rakyat pada tingkat daerah dituntut untuk menyelaraskan berbagai kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pemerintah daerah dalam proses perumusan kebijakan yang tertuang dalam sebuah perda sesuai dengan fungsinya, disamping sebagai fungsi legislasi, maupun fungsi pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.
Pelaksanaan berbagai fungsi tersebut diatas akan menjadi ukuran untuk melihat keberadaan (peran) DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai wakil rakyat di daerah, DPRD membutuhkan komunikasi politik dalam menyampaikan pesan-pesan, dan/atau dituntut untuk mampu menafsirkan aspirasi (kebutuhan dan kepentingan) masyarakat maupun pemerintah daerah secara legal formal dalam sebuah perda berdasarkan kewenangan yang diberikan.
DPRD yang memiliki posisi yang sejajar dengan pemerintah daerah (eksekutif) dalam pelaksanaan otonomi daerah memiliki peran penting dalam merumuskan berbagai kebijakan yang terkait dengan pembangunan daerah. Adanya desentralisasi kewenangan kepada daerah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang luas, DPRD memiliki otoritas politik yang cukup kuat dan independen, bahkan DPRD memiliki kedudukan yang sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah, sehingga memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap pemerintah daerah. Sehingga DPRD sebagai lembaga legislatif yang menjalankan fungsi legislasinya dituntut untuk berperan aktif dalam proses perumusan kebijakan pemerintah daerah. Hal ini tentu lebih memperhatikan aspirasi atau kepentingan rakyat, sebab DPRD adalah sebuah lembaga yang mempresentasikan rakyat di daerah, sehingga pada hakekatnya suatu putusan atau kebijakan yang dilakukan oleh DPRD tentu mencerminkan kepentingan rakyat. Akan tetapi dalam kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa DPRD belum optimal dalam memperjuangkan aspirasi atau kepentingan masyarakat.
Hal ini terlihat pada DPRD Kabupaten Tasikmalaya, dimana berbagai aspirasi dan tuntutan masyarakat dari berbagai elemen yang masuk ke DPRD Kabupaten Tasikmalaya tidak ditindak lanjuti atau diperjuangkan secara optimal. Bahkan Kebijakan atau keputusan yang diambil seringkali bertentangan dengan tuntutan aspirasi rakyat. Salah satu contoh yang menjadi sorotan dalam kajian ini disamping berbagai kasus lain , adalah berkaitan dengan masalah penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2005 yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah nomor 14 tahun 2004 tentang APBD Tasikmalaya Tahun Anggaran 2005.
Dalam penetapan APBD tersebut, DPRD Kabupaten Tasikmalaya banyak mendapatkan kritikan dan masukan dari berbagai elemen, baik pengamat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Namun pada kenyataannya DPRD Kabupaten Tasikmalaya tetap mengesahkan rancangan APBD 2005 tersebut sebagai produk hukum (perda) di Kabupaten Tasikmalaya. Padahal penetapan sebuah rancangan perda yang terkait dengan APBD adalah merupakan sebuah kebijakan yang mestinya membuka diri untuk menerima masukan dan kritikan dari semua pihak demi untuk kepentingan pelaksanaan pembangunan di daerah.
Hal tersebut diatas mencerminkan betapa buruknya proses komunikasi politik DPRD sehingga tidak berjalan sebagaimana diharapkan, serta tidak memahami dan menyadari betapa pentingnya sebuah proses komunikasi politik yang dijalankan, sebagaimana ungkapan Kantaprawira (1996 : 61), bahwa hanya melalui komunikasilah pikiran politik dapat dipertemukan, karena pada hakikatnya segala pikiran itu harus ada yang menyampaikannya, melalui pesan, dan akhirnya ada yang menanggapinya. Sehingga diharapkan dengan keberadaannya DPRD dapat menjalankan fungsinya sebagai articulator dan aggregator kepentingan masyarakat di daerah.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang bagaimana proses komunikasi yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Tasikmalaya dalam menyalurkan aspirasi rakyat terhadap proses penetapan suatu peraturan daerah yang menjadi produk hukum di daerah, dalam hal ini adalah proses penetapan perda tentang APBD Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2005.
B. Identifikasi Masalah
Sebuah perda, karena sebagai hasil dari sebuah proses komunikasi, lahir melalui proses yang cukup panjang dan berliku. Proses ini tidak saja melibatkan DPRD sebagai sebuah lembaga yang utuh, tetapi juga terkait dengan kepentingan masing-masing fraksi (partai) yang ada. Bahkan kepentingan dari tiap-tiap individu yang duduk menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembentukan sebuah perda. Dalam penelitian ini, komunikasi yang dimaksud adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan DPRD, baik sebagai sebuah lembaga, unit/fraksi maupun individu.
Oleh karena itu, dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah proses komunikasi politik yang terjadi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, terutama dalam penetapan sebuah perda.
Untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan bagaimana proses komunikasi politik yang terjadi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah perda?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi komunikasi politik di DPRD Tasikmalaya dalam penetapan sebuah perda ?
3. Apa yang menjadi tujuan dilakukannya komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah perda?

C. Maksud dan Tujuan penelitian
Berdasarkan ruang lingkup rumusan dan identifikasi masalah penelitian di atas, maka karya ilmiah ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan bagaimana proses komunikasi politik yang terjadi di DPRD Tasikmalaya dalam rangka penetapan sebuah perda. Sedangkan tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui proses komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah perda.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi komunikasi politik di DPRD Tasikmalaya dalam penetapan sebuah perda, dan
3. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah perda.

D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan, baik secara akademis maupun praktis, dikemudian hari. Lebih jelasnya, secara akademis penelitian ini diharapkan dapat sebagai dasar dalam pengembangan dan penambahan khasanah ilmu komunikasi terutama pada kajian komunikasi politik. Sedangkan dari aspek praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berarti bagi semua pihak, DPRD Tasikmalaya, pemerintah daerah, dan masyarakat luas.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka

1. Komunikasi dan Politik : Sebuah Telaah Terhadap Kajian Komunikasi Politik di Indonesia
Dalam konteks pengembangan pengetahuan, suatu teori atau model pengetahuan sering diilhami oleh teori atau model sebelumnya, meskipun teori yang kemudian itu hingga derajat tertentu juga menampakkan orisionalnya. Sehingga beberapa kajian yang bertemakan komunikasi politik akan peneliti kupas terlebih dahulu dalam sub bab ini untuk memberikan gambaran awal tentang kajian-kajian yang dilakukan terkait dengan masalah tersebut.
a. Tinjauan Umum Tentang Proses Komunikasi
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Muhmmad Firdaus (2002: 22) tentang komunikasi politik, menyebutkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses, artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau persitiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan-tahapan) serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Sebagai suatu proses , komunikasi tidak statis melainkan dinamis dalam artian selalu mengalami perubahan dan berlangsung secara terus menerus.
Senada dengan hal tersebut Effendy (2000:11) menyebutkan bahwa, pada hakikatnya proses komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.
Menurut Sendjaja (1993 : 9), proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur faktor atau unsur yang dimaksud antara lain : pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang dipergunakan dalam menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi, serta situasi atau kondisi pada saat berlangsungnya proses komunikasi.
Sehingga dapat diartikan pula bahwa, komunikasi merupakan pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Pada saat interaksi individu dengan individu lainnya berlangsung terdapat sebuah fase dimana terjadi transaksi simbol-simbol yang menghasilkan kesamaan makna di antaranya. Dalam rangka menjalin komunikasi yang berdasarkan pada keseragaman makna, manusia dalam interaksi sosial selalu berupaya mencocokan apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sedang terjadi pada lingkungannya, artinya manusia dalam proses komunikasi bukan sekedar penerima lambang atau symbol-simbol yang dilihat, didengar, atau yang dirabanya secara pasif, melainkan individu akan mencoba merespon dan memberikan umpan balik terhadap makna yang ditimbulkan oleh lambing, symbol atau tanda tersebut. Reaksi yang diberikan oleh individu itu adalah bagian interaksi yang dapat dilakukannya dalam rangka menjalin komunikasi antara pengirim pesan dengan penerima pesan. Interaksi interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap pesan yang disampaikan diantara peserta komunikasi tetapi interaksi interpretasi juga dilakukan terhadap dirinya sendiri, karena orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri.
Ardianto (2003:76) mengutip pendapat B. Aubrey Fisher dalam Aripin (1992) mengatakan bahwa telah mencatat mengenai paradigma yang berkembang pada beberapa decade terakhir, yaitu paradigma mekanistis menekankan pada efek dari komunikasi, psikologis memberikan gambaran bahwa komunikasi dikonseptualisasikan atau dipahami sebagai proses dan mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi pada diri sendiri. Dalam paradigm interaksional, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai interaksi manusiawi pad masing-masing individu, sedangkan pada paradigm pragmatis, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai sistem prilaku.
Hayakawa (dalam mulyana,1996:6) mengungkapkan bahwa “ kebutuhan dasar yang memang yakni kebutuhan akan simbol-simbol”. Fungsi pembentukan symbol ini adalah suatu kegiatan-kegiatan dasar manusia seperti makna akan gerak. Hal ini merupakan proses fundamental dari pikiran dan berlangsung setiap waktu. Tidak semua makhluk di dunia ini dapat memaknai simbol, karena simbol itu sendiri merupakan isyarat yang hanya dapat dipahami dengan suatu kemampuan khusus yang hanya dimilki oleh manusia.
Komunikasi manusia memanfaatkan suatu simbol yang sangat berperan penting untuk dapat berkomunikasi. Simbol itu sendiri didefinisikan oleh Tubbs dan Moss (1996 : 72) sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu yang lainnya. Simbol tidaklah berdiri atau ada dengan sendirinya, simbol diciptakan dengan mempunyai tujuan yang hendak di informasikan kepada orang yang melihat simbol itu sendiri. Simbol merupakan petunjuk yang paling canggih, simbol ini terutama berfungsi dalam penalaran dan pemikiran, penggunaan simbol oleh manusia merupakan suatu prestasi yang telah diraih oleh manusia, sebab prestasi-prestasi manusia bergantung pada penggunaan simbol-simbol(dalam Mulyana,1996 : 96). Jadi simbol lebih merupakan tanda yang khusus bersifat arbitrier, artinya bersifat manasuka atau tidak sama dengan yang ditandai, dan hanya bisa dimengerti ataupun ditafsirkan dalam konteks tertentu oleh kelompok sosial tertentu pula, sehingga besifat culture specific.
Tindakan simbolis hanya mungkin sebagai komunikasi antar manusia yang sangat sederhana, hubungan itu ditentukan dua orang, akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial cenderung untuk berkelompok, hidup dalam suatu komunitas tertentu. Simbol-simbol semakin berkembang, semakin dipahami bersama melalui intraksi yang lebih luas, simbol pun bukan menjadi milik individu lagi, akan tetapi bersifat komuniter dan menjadi milik bersama dalam dunia sosial mereka.
Secara umum Effendy (2000 : 11), membagi proses komunkasi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi umumnya adalah bahasa, tetapi dalam situasi-situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa gesture, gambar, isyarat, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan lambang yang paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi, karena bahasa yang paling efektif untuk menterjemhakan pikiran seseorang kepada orang lain. Akan tetapi untuk efektifnya suatu proses komunikasi lambang-lambang tersebut sebaiknya dipadukan penggunaannnya.
Kemudian proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pean oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
b. Konsep Komunikasi Politik
Blake dan Haroldson (1975 : 44) mengatakan “ Political communication is communication that has actual or potential effects on the function of a political state or the political entity”. Fagen ( dalam blake dan Haroldson, 1975 : 44) mendefinisikan bahwa komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem itu dengan lingkungannya. Luas lingkupnya meliputi studi mengenai jaringan komunikasi organisasi (partai, serikat kerja, birokrasi public, dan organisasi massa lain), kelompok, media massa, dan saluran-saluran khusus dan determinan sosial ekonomi dari pola-pola komunikasi yang ada pada system yang dimaksud. Komunikasi politik menurut Denton dan Woodward (dalam Mc Nair 1995 : 3-4) termasuk komunikasi dalam hal ihwal berikut ini :
1. All forms of communication undertaken by politicians and other political actors for the purpose of achieving specific objectives
2. Communication addressed to these actors by non-politicans such as voters and newspaper columnist, and :
3. Communication about these actors and their activities, as contained in news reports, editorials, and other forms of media discusiion of politics.
1. Segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politisi dan para pelaku politik yang lain dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Komunikasi yang diarahkan kepada para pelaku oleh mereka yang bukan politisi seperti pemilih dan kolumnis Koran, dan ;
3. Komunikasi mengenai para aktor dan aktifitas mereka, seperti tercantum dalam laporan berita, editorial, dan berbagai bentuk media diskusi politik.(terjemahan,pen)
Galnoort (dalam nasution, 1989 : 24), menjelaskan bahwa komunikasi politik merupakan infra struktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk kedalamnya. Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi itu dapat mengikat semua semua kelompok atau warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Sementara bila dilihat dari tujuan politik an sich, hakikat komunikasi politik pada dasarnya adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan demi mewujudkan pemikiran politik dan ideologi sebagaimana yang mereka harapkan. Unsur-unsur dalam komunikasi politik pada umumnya terdiri dari : komunikator, komunikan, pesan, media, tujuan, efek, dan sumber komunikasi. Semua unsur ini berada dalam dua situasi politik atau struktur politik yakni suprastruktur politik, dan infrastruktur politik. Suprastruktur politik termasuk legislative, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan infrastruktur politik mencerminkan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang terdiri atas parpol, interest groups, media komunikasi politik dan lain sebagainya (Harmoko dalam Rauf, 1993 : 10).
Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Dalam komunikasi politik ini Habermas dalam Hardiman (http:/duniaesai.com, page 3 of 8) mengacu pada beberapa hal, sebagai berikut :
Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis hanya mungkin jika kita menggunakan bahsa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan;
Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuj tujuan-tujuan diluar diri mereka.
Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses dan represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus hanya lewat argument yang lebih baik.
Ketiga hal tersebut singkatnya dalam ruang publik politis harus “ inklusi”, “egaliter”, dan “ bebas tekanan”, sehingga hal tersebut akan memberikan identitas pada pemerintahan yang kuat, yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.
Dalam hasil penelitian Yenrizal (2003 : 151) memberikan gambaran bahwa dalam konteks komunikasi politik, budaya politik masyarakat yang berorientasi kognitif dan afektif, harus sedari dini diberi pencerahan dan pendidikan politik, sehingga akan menghasilkan efektifitas komunikasi politik sebagai akibat dari budaya politik tersebut. Komunikasi politik yang dilakukan dapat berbentuk komunikasi politik yang dilakukan dengan sistematis dan terarah.
Komunikasi politik dalam sebuah sistem politik lebih jauh dapat diumpamakan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh manusia. Bukan darahnya, tetapi apa yang terkandung dalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup. Komunikasi politik sebagaimana layaknya darah, mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemprosesan sistem politik; dan hasil pemprosesan itu yang tersimpul dalam fungsi-fungsi out put, dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya menjadi feed back sistem politik itu sendiri (Alfian, 1993:1-2).
Komunikasi politik mempersambungkan semua bagian dari sistme politik, dan juga masa kini dan masa lampau, sehingga dengan demikian aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Komunikasi politik terjadi mulai dari proses penanaman nilai dimasyarakat (sosialisasi politik atau pendidikan politik), sampai kepada pengartikulasian dan penghimpunan aspirasi dan kepentingan, terus kepada proses pengambilan kebijaksanaan,dan penilian terhadap kebijakan itu oleh masyarakat yang tiap-tiap bagian itu dipersambungkan oleh komunikasi politik.
Sesuai dengan pengertian, dan ruang lingkup kajian komunikasi politik di atas, fungsi komunikasi politik dalam sebuah negara demokrasi adalah menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi in put pada sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil penguasa berupa out put dari sistem politik itu sendiri. Melalui itu pula mereka mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalur atau tidak terhadap berbagai kebijakan politik yang diambil para penguasa.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik merupakan semacam “ urat nadi” atau “ darah” dari suatu sistem politik dimana seluruh mekanisme kehidupan politik negara tergantung padanya. Komunikasi politik merupakan sesuatu yang penting, mengkoordinir, serta mensinkronkan lembaga-lembaga negara secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, adalah mengatur mekanisme hubungan antara pemerintah dengan segenap lembaga dan organisasinya bersifat struktural fungsional yang saling berkaitan. Misalnya untuk mengkomunikasikan kebijakannya kepada masyarakat demi mendapatkan dukungan (support) dari masyarakat dan sebaliknya pemerintah mau membuka dirinya atas tuntutan (demand), usulan, saran, dan kritikan dari masyarakat. Sedangkan secara horisontal adalah mengatur dan mengharmonisasikan kehidupan masyarakat dengan menciptakan pengertian timbal balik antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
2. Komunikasi Politik di Lembaga Legislatif (DPRD)
Dalam penelitian Rahman (2005 : 27), Komunikasi adalah unsur yang esensial dalam demokrasi, yang melekat pada konsep demokrasi itu sendiri. Komunikasi merupakan tulang punggung demokrasi; seluruh proses demokrasi dilangsungkan melalui komunikasi (Dahlan, 1999:2).
Naik turunnya tingkat demokrasi sangat bergantung pada struktur dan ciri sistem komunikasi. Sebuah negara organisasi atau institusi baru dinamakan demokrasi bila memungkinkan terjadinya komunikasi tanpa hambatan. Tolok ukur demokrasi adalah kriteria komunikasi, yaitu adanya wacana publik, pertukaran pendapat, gagasan dan perbedaan secara terbuka, arus informasi yang tidak dibatasi, serta hak dan kebebasan memilih.
Komunikasi politik menurut Budiarjo (1999:20) merupakan saran yang digunakan oleh artai politik dalam menjalankan salah satu fungsinya untuk menegakkan demokrasi. Dalam tatanan komunikasi, kedudukan partai politik merupakan jembatan arus komunikasi di antara mereka yang memerintah (the rulers) dan mereka yang diperintah (the ruled).
Wakil rakyat atau anggota parlemen (Dahlan, 1999 : 6) dapat dikatakan sebagai broker komunikasi, yang menjadi perantara antara konstituennya dengan pemerintah. Para wakil rakyat harus menyadap masalah, gagasan atau tuntutan dari pemilihnya dengan mendengar pesan-pesan mereka kemudian mengartikulasikan aspirasinya dengan menggunakan segala kemampuan berkomunikasi yang ada pada dirinya (baik verbal maupun non verbal) untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Komunikasi politik di DPRD seyogyanya bersandar pada kepentingan seluruh masyarakat, merupakan pencerminan dari keikutsertaan masyarakat, dan juga merupakan proses demokratisasi yang menginginkan keterlibatan anggota masyarakat dalam proses dan penentuan kebijakan pemerintah (Saint, 1985: 203). Dalam pengertia lain bahwa pemerintah harus memperhatikan kehendak dan aspirasi masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Setidak-tidaknya pemerintah menghindari apa yang tidak dikehendaki oleh rakyat.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa, demokrasi berarti pelaksanaan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dan tujuan akhirnya adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Senada dengan hal tersebut, Abraham Lincoln (dalam Rasyid, 1996: 31), bahwa pemerintahan yang demokrasi berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for the people). Dalam konteks sebuah model pemerintahan modern, suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila kedaulatan/ aspirasi rakyat bisa tersalurkan kedalam sistem pemerintahan. Artinya bahwa, aspirasi atau kepentingan rakyat dalam wacana demokrasi benar-benar menempati posisi sentral, tidak saja secara teoritis tapi juga dibutuhkan operasional.
Pelaksanaan pemerintahan yang demokratis bukan bermaksud untuk memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada masyarakat, melainkan bagaimana upaya mematasi kekuasaan yang dipegang atau dijalankan pemerintah. Dalam hal ini Budiarjo (1980 : 52), mengatakan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Sejalan dengan hal tersebut, Hungtinton (1994 : 1) mengatakan bahwa partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Berkaitan dengan keberadaan DPRD sebagai wakil rakyat, jelas sekali bahwa melalui pendekatan demokrasi memiliki relevansi yang sangat penting, dimana kekuasaan negara atau pemerintah tidak terpusat pada satu kekuasaan dalam hal ini kekuasaan eksekutif tetapi terbagi dalam kekuasaan lain, yakni kekuasaan legislative (DPR/DPRD) yang memiliki fungsi kontrol dan hak legislasi terhadap setiap kebijakan pelaksanaan pembangunan daerah yang tertuang secara formal yuridis.
Teori yang digunakan sebagai pendekatan komunikasi politik di DPRD dalam proses perumusan sebuah peraturan daerah, adalah teori strukturasional tentang pengambilan keputusan dari Scott Poole yang diadopsi dari pemikiran Anthony Giddens (dalam Littlejohn, 1996 : 294). Teori ini mengajarkan bahwa pengambilan keputusan kelompok berusaha untuk mencapai konvergensi atau kesepakatan akan sebuah keputusan individu-individu mengungkapkan pendapat-pendapat serta pilihan-pilihan mereka untuk menghasilkan aturan-aturan tertentu melalui konvergensi.
Komunikasi politik DPRD dalam merumuskan sebuah peraturan daerah dapar dipandang sebagai suatu proses. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa komunikasi politik merupakan suatu proses yang menyatu dengan gejala politik. Seperti dalam hasil penelitian Hidayat (2003 : 110), dalam merumuskan kebijakan publik ditingkat daerah (perda) khususnya di Tasikmalaya, partisipasi masyarakat melalui komunikasi politik yang dilakukan memiliki kontribusi yang besar dalam perumusan suatu perda.
Menurut Alfian (1993), komunikasi politik diasumsikan sebagai suatu yang menjadikan sistem politik itu hidup dan dinamis. Komunikasi politik mempersembahkan kegiatan sistem politik, sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi sebuah peraturan yang berlaku di daerah.
Adapun proses bagaimana DPRD membuat suatu perda, biasanya diatur dalam suatu peraturan tata tertib DPRD berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Proses yang biasanya dilakukan adalah pemerintah daerah dalam hal ini adalah eksekutif, terlebih dahulu menyiapkan naskah akademiknya, kemudian ditetapkan sebagai rancangan peraturan daerah dan kemudian diajukan kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan menjadi sebuah peraturan daerah. Namun dapat juga berupa pengajuan yang dilakukan oleh DPRD sendiri melalui hak inisiatif DPRD dan kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah.
Setiap tahunnya DPRD biasanya menghasilkan dua jenis (kelompok perda) yaitu :
1. Kelompok rutin
2. Kelompok incidental
Kelompok rutin adalah peraturan daerah yang mencakup pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD), perubahan APBD dan pengesahan APBD tahun yang berlangsung. Kelompok incidental mencakup semua perda yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan daerah, termasuk juga perubahan perda yang sudah ada dan berlaku.
Mutu suatu perda tergantung dari seberapa jauh kemampuan komunikasi politik yan dijalankan disetiap elemen yang terkait dalam proses pembuatan perda tersebut. Terlebih lagi kesiapan dan kemampuan serta pemikiran yang berkembang di setiap fraksi dan seberapa intensif pembahasan yang dilakukan disetiap komisi, juga mutu rapat kerja antara legislative dan eksekutif ketika pembahasan suatu rancangan perda tersebut. Pada akhirnya mutu individu setiap anggota DPRD kemudian mutu kepemimpinan yang ada dalam kelengkapan DPRD kemudian mutu kepemimpinan yang ada dalam kelengkapanDPRD merupakan tolak ukur dari bermutu tidaknya perda yang dihasilkan.
Dalam setiap pedebatan baik yang berlangsung di fraksi, komisi maupun di rapat kerja, adalah kesempatan bagi setiap angota DPRD untuk menjalankan dan menunjukkan kemampuan komunikasi politiknya dalam menyuarakan kepentingan rakyat atau konstituen yang diwakilinya.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa fungsi legislasi DPRD sangat luas dalam sebuah keputusan pelaksanaan pembangunan daerah. Apabila DPRD secara lembaga menolak salah satu rancangan perda, atau dinyatakan bahwa perda tersebut tidak berlaku, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya pemerintah daerah (eksekutif) dalam menjalankan tugasnya, terutama yang terkait dengan alokasi penggunaan APBD.
Sehingga dalam konteks kajian ini dapat dikatakan bahwa seyogyanya anggota DPRD sebagai wakil rakyat harus memiliki kemampuan interpretasi, memiliki integritas moral dan kekuatan dalam menyalurkan dan memperjuang aspirasi rakyat ang diwakilinya dalam setiap kebijakan pelaksanaan pembangunan daerah terutama dalam hal penggunaan atau alokasi APBD.
3. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan pilihan diantara berbagai alternatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menempati posisi yang sangat menentukan dalam suatu organisasi. Keputusan merupakan pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional.
Untuk melihat mengenai pengambilan keputusan, terlebih dahulu akan diemukakan definisi tentang pengambilan keputusan tersebut. Menurut Siagian (1.984: 83), pengambilan keputusan adalah :
Suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan farkta- fakta dan data, peentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi, dan mengambi tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.
Selanjutnya Terry (dalam winardi, 1981 : 116) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai pilihan yang didasarkan atas kriteria tertentu mengenai alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih.Sedangkan Sedangkan dalam konteks pembahasan tentang DPRD, Marbun (1992 : 254) menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses penyelesaian terakhir terhadap suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat atau sidang DPR/DPRD.
Hasil dari proses pengambilan keputusan tersebut dinamakan keputusan (decision). Keputusan dapat dinyatakan dalam bentuk kata-kata yang dirumuskan dalam suatu (Perda). Keputusan adalahng jawaban atau respons terhadap masalah yang dihadapi. Dapat juga dikatakan bahwa keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Keputusan tersebut diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Apabila sesuatu telah diputuskan dalam organisasi, maka semuanya harus tunduk dan menaati keputusan/ peraturan itu dengan konsekuen. Berdasarkan tersebut diatas terlihat bahwa pengambilan keputusan menurut Siagian (1994 : 188-189), mengandung paling sedikit enam faktor, yaitu :
Pertama, pengambilan keputusan merupakan suatu proses yang berarti dan untuk mengambil keputusan selalu terjadi secara terus menerus dalam suatu organisasi. Kedua, pengambilan keputusan merupakan kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memang karena kedudukan dan jabatannya dalam organisasi memiliki wewenang formal untuk menentukan arah yang akan ditempuh oleh organisasi dimasa-masa mendatang. Ketiga, dalam proses pengambilan keputusan, fenomena organisasional dan sosial seyogianya mendapat perhatian yang cermat karena sebagaimana diketahui keputusan dilaksanakan dalam keadaan nyata dengan interaksi antara organisasi dengan lingkungannya. Keempat, pengambilan keputusan tidak terlepas dari premis tertentu ang diwarnai oleh fakta yang dihadapi dan nilai-nilai oranisasional dan sosial yang turut diperhitungkan. Kelima, dalam proses pengambilan keputusan berlaku rumus bahwa tidak ada hanya ada satu cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan oleh karenanya keputusan yang diambil itu terlebih dahulu memperhitungkan berbagai alternatif yang mungkin ditempuh. Keenam, berbagai faktor yang diperhitungkan harus tertuju pada terciptanya suasana yang memungkinkan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya dengan daya guna dan hasil guna yang semakin tinggi.
Jelaslah bahwa proses pengambilan keputusan bermuara pada pemilihan dan penentuan dari laternatif yang dianggap terbaik dalam menuju situasi yang demokratis dan akuntabel. Walaupun dalam kehidupan organisasional menjadi hal yang wajar bahwa antara keadaan yang ideal dengan kenyataan yang dihadapi terdapat kesenjangan.
Proses pengambilan keputusan memang merupakan usaha sadar dan sistematik untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh suatu organisasi. Setiap keputusan yang telah diambil merupakan perwujudan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu analisis proses pengambilan keputusan pada hakikatnya sama dengan analisis proses kebijakan. Menurut Syamsi (2000:37), bahwa proses pengambilan keputusan itu, meliputi :
1. Identifikasi masalah
2. Pengumpulan dan penganalisaan data
3. Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan yang nantinya akan dijadikan alternatif-alternatif keputusan, dengan memperlihatkan siatuasi lingkungan
4. Memilih satu alternatif terbaik untuk djadikan keputusan
5. Melaksakana keputusan
6. Memnatau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan keputusan
Sementara itu Prajudi (1982:137), mengemukakan bahwa proses pengambilan keputusan meliputi :
1. Analisis posisi kepemimpinan. Seseorang mula-mula harus menyadari dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam suatu organisasi. Sebagai pemimpin ia harus memutuskan sesuatu jika dalam organisasinya terdapat masalah.
2. Analisis masalah. Masalah yang dihadapi lebih dahulu ditelaah, mengingat masalah itu mempunyai bermacam bentuk dan kompleksitas.
3. Analisis situasi dan kondisi.
4. Menelaah keputusan itu sendiri, terutama yang ditelaah alternatif-alternatif yang ditemukan dengan konsekuensi masing-masing, untuk kemudian dipilih satu diantara alternatif tersebut yang dianggap paling tepat.
5. Setelah keputusan diambil, kemudian keputusan itu dilaksanakan. Keberhasilan pelaksanaan keputusan itu akan saling terpengaruh dari jiwa kepemimpinan yang bersangkutan.

Dengan demikian keputusan merupakan suatu proses yang terus menerus (continue). Proses pengambilan keputusan terdiri dari tahap penyelidikan untuk memahami keinginan dan aspirasi semua stakeholder yang terlibat, kemudian perancangan dan pemelihan yang bersifat integral dan salng berkaitan antara bagian dari aktivitas didalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi pengambilan keputusan (pembentukan Perda) bukan merupakan aktivitas tunggal, melainkan didlamnya terdapat proses yang saling berkaitan dan berkesinambungn.
4. Peraturan daerah (Perda)
Adanya desentralisasi kewenangan kepada daerah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab tersebut, sesungguhnya termasuk didalamnya pemencaran kewenangan menetapkan peraturan perundang-undangan untuk menyelenggarakan pemerintah daerah, yang salah satu bentuk hukumnya adalah Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal ini Bagir Manan (2001 : 70-71), mengatakan bahwa :
“Daerah otonom sebagai suatu pemerintahan mandiri yang memiliki wewenang atributif-lebih-lebih sebagai subjek hokum berwenang membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang mengatur ini ada pada pemerintah daerah (Pejabat adminsitrasi negara) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislative di daerah. Perda merupakan pelaksanaan fungsi legislative daerah”.
Secara argumentatif dapat dinyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah membentuk Perda merupakan ciri utama adanya satuan pemerintahan otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya secara mandiri. Perda merupakan instrument hokum yang dibuat oleh pemerintah di daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya untuk mewujudkan otonomi yang dimiliki, di samping sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hakekat perda sebagai sarana implementasi hukum atas peraturan perudang-undangan yang bersifat nasional, dapat berisi sebagai instrument pengatur setiap pelimpahan tugas dan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi.
Pada hakikatnya Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari pertauran perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kemudian keberadaan sebuah Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan pertauran perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan pasal 137 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa, Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi :
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan,dan
g. Keterbukaan
Kemudian, Pasal 138 menyebutkan bahwa, Perda yang dibentuk paling sedikit memiliki asas-asas sebagai berikut :
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bhineka Tunggal Ika
g. Keadilan
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. Ketertiban dan kepastian hukun, dan
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Terhadap pembentukan sebuah Perda, masyarakat diberi hak dan kesempatan memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. (Pasal 139 Undang-undang Pemda). Ketentuan inilah memberikan keterlibatan masyarakat didaerah secara langsung untuk memberikan masukan maupun menyampaikan aspirasi mereka terhadap perumusan sebuah Perda yang nantinya akan menjadi aturan formula dalam kebijakan pembangunan daerah.
5. Kerangka pemikiran
Pada dasarnya komunikasi merupakan sebentuk perilaku alamiah yang dimiliki setiap manusia. Seorang manusia menjadi manusia justru karena kemampuan berkomunikasi yang dimilikinya, memaknai lingkungan sosialnya dan memberikan umpan balik sebagai respon akan hal tersebut. Bhakan lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa untuk tidak berkomunikasi. Jadi pada intinya melalui pertukaran simbol-simbol yang bermakna tersebut, seseorang berintegrasi sekaligus menginternalisasi dirinya dalam lingkungan sosial.
Burke dan Mead (dalam UNRI : 1985), mengatakan bahwa masyarakat hanya mungkin dapat mempertahankan keberadaannya, antara lain karena adanya dan digunakannya komunikasi yang menggunakan simbol-simbol signifikan. Dengan menggunakan simbol-simbol tersebut, maka warga masyarakat dapat saling mengidentifikasikan dan berada dalam kebersamaan.
Ditinjau dari perspektif Interaksi Simbolik, kedudukan atau keberadaan DPRD dikonstruksikan sebagai salah satu bagian dari simbol kepemimpinan dalam sistem pemerintahan daerah. Dalam konteks kajian ini, simbol kepemimpinan yang terdapat lembaga DPRD mengacu pada situasi dimana sekelompok orang yang bertugas dan ikut serta mempengaruhi setiap sikap dan tindakan seseorang dalam kehidupannya, atau tentang pengaruh suatu kelompok yang mempunyai peranan terhadap perubahan pola kehidupan masyarakat di daerah. DPRD yang mempresentasikan berbagai kepentingan didalam masyarakat merupakan salah satu unsur kepemimpinan yang terdapat didaerah, karakteristik dan tipe kepemimpinan yang ditungampilkan tentu akan merefleksikan berbagai tujuan dan kepentingan masyarakat atau konstituennya. Adapun fungsi-fungsi kepemimpinan menurut Krech (Krech & Crutchfield, 1962 : 428) pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar. Pertama adalah fungsi-fungsi primer (primary functions) dan kedua adalah fungsi-fungsi tambahan ( accessory functionsi ) kedua fungsi ini pada tujuan kelompok. Pengelompokkan kepemimpinan tersebut dapat disimak pada bagan berikut ini :



Fungsi-fungsi kepemimpinan

Primer Tambahan







Gambar 1 : Fungsi-fungsi kepemimpinan
Sumber : (Krech & Crutchfield, 1962 : 428)
Berdasarkan apa yang menjadi dasar dari kehidupan kelompok-kelompok manusia atau masyarakat, beberapa ahli dari paham interaksi simbolik menunjuk kepada “ komunikasi” atau secara ebih kusus” simbol-simbol” sebagai kunci untuk memahami kehidupan manusia, artinya bahwa manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa. Ketentuan hukum, ketentuan adat istiadat, dan ketentuan agama, dan berbagai pandangan. Menurut Charon (1979 : 61), proses interaksi simbolik yang terbentuk dalam suatu masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut :
Interaction

Give rise to

Social objects Symbol Language Perspective









1. Human Social Reality 2. Human Social Life 3. Individual Life

Gambar 2 : Symbolic Interaction
Sumber : Charon, 1979 : 61
Gambar diatas memperlihatkan bahwa pola interaksi yang terbentuk, secara simbolik meliputi interaksi bahasa, objek sosial, lambang-lambang dan berbagai pandangan.
Blumer (dalam Veeger, 1993 : 224-227) yang mengembangkan lebih lanjut gagasan-gagasan Mead mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu pertama konsep diri (self), memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh stimulus, baik dari luar maupun dari dalam, melainkan “ organism yang sadar akan dirinya” ( an organism having a self). Ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri. Kedua adalah konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk selain manusia.
Manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupannya dengan beranggapan bahwa ia tidak ditindih oleh situasi, melainkan merasa diri di atasnya. Manusia kemudian merancang perbuatannya. Perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai reaksi biologis, melainkan hasil konstruksinya. Ketiga, konsep objek (object), memandang manusia hidup ditengah-tengah objek. Objek itu dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan atau abstrak seperti konsep kebebasan, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti dari objek itu tidak ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya, melainkan oleh minat orang dan arti yang dikenakan kepada objek-objek itu. Keempat, konsep interaksi sosial (social interaction), interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan oleh orang lain, sehingga interaksi dan komunikasi dimungkinkan terjadi. Interaksi itu tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerik saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak sesuai dengan makna itu. Kelima, konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokkan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini adalah penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran, dan sikap. Oleh karena itu, interaksi sosial itu memerlukan banyak waktu untuk mencapai k serasian dan peleburan.
Eratnya kaitan antara aktivitas kehidupan manusia dengan simbol-simbol karena memang kehidupan manusia salah satunya berada dalam lingkungan simbolik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo (1987 : 66) bahwa “ manusia hidup ditengah-tengah tiga lingkungan simbolik”. Lingkungan material bukanlah ekosistem atau tempat ketiga lingkungan itu berkait, tetapi lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan dan peralatan-peralatan. Lingkungan simbolik adalah segala sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi seperti bahasa, mite, nyanyian, tingkah laku, konsep-konsep dan sebagainya.
Kaitan antara simbol dengan komunikasi terdapat dalam salah satu dari prinsip-prinsip komunikasi yang dikemukakan oleh mulyana. (200 : 83-120) yaitu komunikasi adalah suatu proses simbolik. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang adalah salah satu kategori tanda.
Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang di representasikannya, representasi ini ditandai dengan kemiripan. Berbeda dengan ikon, indeks aau dikenal dengan istilah sinyal atau suatu tanda yang secara alamiah mempresentasikan objek lainnya. Pemahaman tentang simbol-simbol dalam suatu proses komunikasi merupakan suatu hal yang sangat penting, karena hal ini akan menyebabkan komunikasi itu berlangsung secara efektif.
Sistem komunikasi politik yang terbentuk d lam sebuah lembaga DPRD sebagai komponen pimpinan pemerintahan di daerah, merujuk pada model komunikasi kelompok yang menggunakan pendekatan interaksi simbolik. Kelompok terbentuk karena adanya komunikasi. Terjadinya kelompok karena individu berkomunikasi dengan yang lain, sama-sama memiliki motif dan tujuan. Dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam suatu hubungan fungsional satu sama lain inilah yang akan membentuk kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Larry L. Barker (1987:159) bahwa :
“a group is any number of people who have a common goal, interact with one another to accomplist their goal, recognize one another’s existence, and see themselves as part of a group”
Sementara itu Goldberg dan Larson (1985 : 8) menyatakan bahwa :
“ Komunikasi kelompok adalah suatu studi tentang segala sesuatu yang terjadi pada saat individu-individu berinteraksi dalam kelompok, terjadi dalam suasana yang lebih berstruktur dimana para pesertanya lebih cenderung melihat dirinya sebagai kelompok serta mempunyai kesadaran yang tinggi tentang sasaran bersama”.
Persamaan yang dapat ditarik dalam uraian diatas akan menjadi kriteria dari komunikasi politik yang dibangun dalam suatu kelompok atau lembaga, yaitu adanya interaksi antara individu, mempunyai tujuan yang sama satu dengan lain, serta anggotanya sama-sama menyadari bahwa mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab masing-masing.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, komunikasi politik DPRD dalam pengambilan suatu keputusan dapat juga digunakan pendekatan teori struktural tentang pengambilan keputusan dari Scott Poole yang diadopsi dari pemikiran Anthony Giddens. Teori ini mengajarkan bahwa pengambilan keputusan kelompok merupakan suatu proses dimana para anggota kelompok berusaha untuk mencapai konvergensi atau kesepakatan akan sebuah keputusan. Individu-individu mengungkapkan pendapat-pendapat dan pilihan-pilihan mereka untuk manghasilkan aturan-aturan tertentu melalui konvergensi.
Giddens (dalam Littlejohn, 1996: 294), menyatakan bahwa strukturasional selalu melibatkan dimensi utama, yaitu :
1) Interpretasi atau pemahaman, 2) perasaan moralitas atau tingkah laku yang sesuai, 3) kekuatan perasaan atau tindakan. Aturan-aturan yang kita pakai untuk menentukan tindakan-tindakan kita, dengan kata lain, memberitahu kita bagaimana sesuatu harus dpahami (interpretasi), apa yang dilakukan(moralitas) dan bagaimana supaya segala sesuatu tercapai (kekuatan). Pada gilirannya, tingakan-tindakan kita memperkuat struktur-struktur interpretasi, moralitas dan kekuatan tersebut.
Untuk menghasilkan suatu keputusan melalui konvergensi, anggota kelompok menggunakan tiga elemen tindakan dari Giddens tersebut diatas yaitu : interpretasi, moralitas, dan kekuatan. Interpretasi dimungkinkan melalui bahasa, moralitas diperoleh melalui norma-norma kelompok dan kekuatan diperoleh melalui struktur-struktur kekuatan interpersonal dalam kelompok.
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa, anggota DPRD sebagai wakil rakyat harus memiliki kemampuan interpretasi, integritas moral, dan kekuatan dalam menyalurkan atau memperjuangkan aspirasi rakyat melalui pesan-pesan simbolik atau interaksi simbolik terhadap sesame individu di DPRD dalam merumuskan sebuah kebijakan yang tercantum secara legal formal dalam bentuk Perda.
Komunikasi politik DPRD dalam pengambilan keputusan dapat dipandang sebagai suatu proses. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa komunikasi politik merupakan suatu proses yang menyatu dengan gejala politik. Menurut Alfian (1993), komunikasi politik diasumsikan sebagai sesuatu yang menjadikan sistem politik itu hidup dan dinamis. Komunikasi politik mempersembahkan kegiatan sistem politik, sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi sebuah keputusan.
Komunikasi politik, sebagaimana komunikasi lainnya, membutuhkan pengirim, pesan-pesan, dan penerma. Komunikasi politik biasanya berupa kata-kata tertulis atau lisan, simbol atau sinyal yang meneruskan arti dan pesan. Menurut Kantaprawira (1999 : 61), melalui komunikasi pikiran politik dapat dipertemukan, karena pada hakekatnya segala pikiran itu harus ada yang menyampaikan melalui pesan dan pada akhirnya ada yang menerima atau menaggapinya.
Sejalan dengan hal itu, Prayitno (1989 : 59), mengatakan ada dua hal yang menonjol pada fungsi infrastruktur mengenai komunikasi politik. Pertama, mempertemukan kepentingan (interest articulation function). Kedua, menyalurkan aspirasi dan tuntutan masyarakat (interest aggregation function). Lembaga infrastruktur dalam hal ini adalah DPRD merupakan lembaga yang member input bagi suprastruktur (pemerintah). Oleh karena itu pesan komunikasi yang berisi tuntutan, ide, aspirasi, kehendak, dan harapan masyarakat, sebelum sampai ke suprastruktur terlebih dahulu telah melalui dua tahap proses, yaitu proses artikulasi kepentingan (interest articulation) dan proses agregasi kepentingan (interes aggregation).
Sehingga melalui komunikasi politik di DPRD, masyarakat dapat memberik dukungan, menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan daerah. Komunikasi politik juga berguna sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat, baik dalam rangka mobilisasi sosial untuk implementasi tujuan, memperoleh dukungan, memperoleh kepatuhan, dan integritas politik, maupun terhadap fungsi sosial kontrol yang memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik.
B. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Proses komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah Perda berjalan secara normatif melalui tahapan-tahapan dalam proses legislasi
2. Komunikasi politik di DPRD Tasikmalaya dalam penetapan sebuah Perda dipengaruhi oleh aturan yang mengatur perumusan dan jenis Perda yang akan dirumuskan
3. Tujuan dilakukannya komunikasi politik antara komponen-komponen lembaga DPRD saat penetapan sebuah Perda adalah untuk memperlancar perumusan Perda dan melakukan fungsi DPRD itu sendiri.

















C. Kerangka Konsep Penelitian

















BAB III
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan prosedur yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang yang prilakunya diamati. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana dirasakan oleh yang berangkutan (Mulyana, 2002 : 156).
Untuk mendukung metode yang digunakan, penulis juga menetapkan pendekatan yang biasa dipakai dalam pendekatan ilmu politik, yaitu pendekatan Pluralisme (kemajemukan), yaitu :
Suatu pendekatan yang dibangun oleh paham kelembagaan (Institusonalisme) dan paham tingkah laku (behavioralisme) yang menekankan partisipasi politik sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah dan juga menekankan sisi aktivitas poltik dan proses belajar menyesuaikan melalui partisipasi politik pada tingkat politik dan dalam berbagai buaya-budaya sosial politik (Apter, 1988:287).
Digunakan pendekatan ini untuk mengetahui bagaimana anggota fraksi/ anggota DPRD melakukan komunikasi politik yang berwujud sebagai tingkah laku politik dalam penyusunan sebuah perda. Selain itu dalam penelitian ini didukung pula dengan studi kasus sebagai pengembangan suatu analisis mendalam dari kasus atau beberapa kasus, seperti yang diungkapkan Creswell (1998 : 61), baha studi kasus adalah suatu eksplorasi mendalam dari sebuah sistem terbatas atau suatu kasus (bisa juga banyak kasus secara mendetail, pengumpulan data secara mendalam dari informasi-informasi dalam banyak hal.
Kemudian Muhadjir (1996:12), menyebutkan sejumlah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif atau fenomenologis adalah grounded research, etnometodologi, paradigm naturalistic, interaksi simbolik, semiotic, heuristic, hermeneutic, atau holistic.
Lofland (dalam Mulyana, 2001 : 149), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif yang ditandai dengan jenis-jenis pertanyaan yang diajukan, yakni : apakah yang berlangsung disini ? Bagaimanakah bentuk-bentuk fenomena ini ? Variasi apa yang kita temukan dalam fenomena ini? Lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan secara terinci. Secara lebih spesifik Denzin (dalam Mulyana, 2001 : 149), mengemukakan tujuan prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik yaitu:
a. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
b. Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yang bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
c. Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
d. Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan penamatan metode harus dicatat.
e. Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku yang statis.
f. Pelaksanaan penelitian yang paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
g. Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang layak menjadi teori formal, buka teori agung (grand theory) atau teori menengah (middle-range heory), dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
Prinsip bahwa teori atau proposisi yang dihasilkan berdasarkan interaksionisme simbolik menjadi universal sebagaimana di kemukakan Denzin di atas sejalan dengan pandangan Glaser dan Strauss (dalam Mulyana, 2001:149) yang upayannya untuk membangun” teori berdasarkan data” (grounded theory) dapat dianggap sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan metodologi interaksionis simbolik.
Metode penelitian kualitatif dapat dibedakan dengan penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistic. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif. Meskipun penelitian kualitatif dalam banyak bentuknya sering menggunakan jumlah perhitungan, penelitian tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data dalam eksperimen dan survey.
Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kun kuantitatif. (Mulyana, 2001:150). Sementara itu, menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2000:3), penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik (utuh atau menyeluruh). Sedangkan menurut Neuman (1997:329) peneliti harus focus pada makna-makna subjektif, definisi, kiasan, simbol, dan gambaran dari kasus tertentu, hingga mampu menangkap aspek-aspek dunia sosial. Kemudian dikemukakan lebih lanjut oleh Garna (1999:35) bahwa peneliti berupaya untuk menata dalam memperlihatkan bagaimana berbagai gagasan dan tindakan sosial dalam suatu ruang dan waktu diberi makna. Dijelaskan juga oleh Deddy Mulyana (2001:147), tujuan dari penelitian dalam perspektif subjektif adalah :
Menangani hal-hal yang bersifat khusus, bukan hanya perilaku terbuka, tetapi juga proses yang tak terucapkan, dengan sampel kecil/ purposive, memahami peristiwa yang punya makna historis, menekankan perbedaan individu, mengembangkan hipotesis (teori) yang terikat dengan konteks dan waktu, membuat penilaian etis/estetis atas fenomena (komunikasi) spesifik.
Perlu diperhatikan disini bahwa sifat subjektif yang dimaksud tidak berarti bahwa pemaknaan hanya berdasarkan pemahaman peneliti, tetapi lebih kepada interpretasi dai subjek yang menjadi objek penelitian. Sesuai dengan paradigm yang digunakan, pandangan postpositivis dengan menggunakan teori sistem beranggapan bahwa peneliti harus menuangkan laporannya secara bebas nilai, objektif, tanpa masuknya interpretasi peneliti selain dari subjek yang menjadi objek penelitian itu sendiri. Jadi pendekatan ini bertujuan untuk memahami perilaku manusia dalam lembaga DPRD dari sudut pandang subjek yang diteliti, sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan pertimbangan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Karena bagaimanapun perilaku yang terlihat tidaklah dapat menggambarkan keseluruhan yang terjadi. Berbagai aspek yang tersembunyi perlu pula peneliti bongkar untuk memahami kekuatan apa yang menggerakkan manusia melakukan tindakan sosial (Mulyana,2002). Sebagai konsekuensinya, peneliti tentunya berusaha melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat menemukan sudut pandang dari para subjek penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini, rancangan dan jalannya penelitian ini secara jelas dapat tergambarkan lewat 14 karakteristik pendekatan kualitatif seperti yang dijelaskan oleh Lincon dan Guba (1985 : 39-43) sebagaimana paparan berikut ini :
1. Latar alamiah (natural setting)
2. Manusia sebagai instrument (human instrument)
3. Penggunaan pengetahuan yang tidak eksplisit (utilization of tacit knowledge)
4. Metode-metode kualitatif (qualitative methods)
5. Sampel purposive (Purposive sampling)
6. Analisis data induktif (inductive data analysis)
7. Teori berlandaskan pada data dilapangan (grounded theory)
8. Desain penelitian mencuat secara alamiah (emergent design)
9. Hasil penelitian berdasarkan negosiasi (negotiated outcomes)
10. Cara pelaporan studi kasus (sace study reporting mode)
11. Interpretasi idiografik/konstektual (idiographic interpretation)
12. Aplikasi temuan tentative (tentative application of findings)
13. Batasan ditentukan fokus ( Focus-determined boundaries)
14. Keterpecayaan dengan kriteria khusus (special criteria for trustworthiness).
Berdasarkan beberapa kelebihan dari pendekatan kualitatif ini, maka pendekatan ini dipandang cocok untuk meneliti konteks dan proses komunikasi politik yang berlangsung antara anggota-anggota DPRD yang terlibat dalam suatu proses pembuatan Perda DPRD maupun terhadap pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya. Melalui penelitian ini dimungkinkan akan dapat memperoleh informasi dan data yang bersifat apa adanya (alamiah), menentukan gambaran yang mendalam serta pemahaman yang holistik terhadap fenomena komunikasi politik yang terjadi dalam proses pembuatan Peraturan Daerah khususnya terhadap peraturan daerah nomor 14 tahun 2004 tentang anggaran belanja daerah Tasikmalaya 2005.

B. Lokasi dan Sasaran penelitian
Data diperoleh sesuai teknik pengumpulan data yang dirancang dengan memilih para informan yang ada di lembaga DPRD Kabupaten Tasikmalaya secara purposive ataupun snowball sampling. Tujuan pengambilan data secara purposive dimaksudkan agar peneliti memiliki komparabilitas (dapat diperbandingkan ) dan transfersibilitas (dapat diterjemahkan) di saat pengumpulan dan analisis data (Agus Salim,2001 : 156). Pemilihan sampel dengan metode tersebut juga dilakukan demi meningkatkan cakupan dan jarak dalam realitas yang beragam.
Data yang ingin ditemukan dalam penelitian ini tidak terbatas pada manusia sebagai informan, tetapi juga pada konteks dan proses komunikasi berlangsung. Penentuan informan dilakukan secara purposive dan snowball, di mana peneliti langsung mengidentifikasi dan menginterviu individu yang relatif mengetahui suatu kejadian atau isu tertentu. Selanjutnya dari individu tersebut dapat pula diperoleh keterangan mengenai individu lain yang dapat dijadikan sebagai informan berikutnya. Penentuan informan dengan kedua teknik ini dilakukan peneliti tanpa melupakan empat syarat, seperti yang disebutkan Maxwell (dalam Alwasilah, 2003 : 145), yaitu : Karena kekhasan atau kerepresentatifan dari latar, individu, atau kegiatan; Demi heterogenitas dalam populasi; untuk uji kasus-kasus yang kritis (mementahkan) terhadap teori-teori yang ada ; Serta mencari perbandingan-perbandingan untuk mencerahkan alasan-alasan perbedaan antara latar, kejadian dan individu. Hal ini diperkuat pula oleh Bodgan & Taylor (1993:163) yang menyatakan bahwa informan dipilih karena mempertimbangkan penerimaan kehadiran peneliti, kemampuan dan kemauan mengutarakan pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang, dianggap menarik karena memiliki pengalaman khusus, dan menyeleksian subjek yang mempunyai asumsi-asumsi atau praduga khusus yang bisa mewarnai penafsiran mereka terhadap apa yang diungkapkan.
Dalam penelitian ini, penggalian keterangan dilakukan terhadap informan. Menurut Koentjaraningrat (key informant). Informan pangkal adalah informan yang memberikan petunjuk tentang adanya individu lain dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan yang diperlukan lebih lanjut. Dalam hal ini adalah individu yang memegang jabatan struktural di lembaga DPRD Kabupaten Tasikmalaya tersebut. Informan pokok adalah informan yang diangap ahli atau memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang kesalinghubungan antara bagian-bagian yang ada di sistem tersebut- lembaga DPRD Kabupaten Tasikmalaya.

C. Sumber Data
Data pokok yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian yang difokuskan pada unsur-unsur yang berkaitan dengan proses komunikasi politik di lembaga DPRD Kabupaten Tasikmalaya, baik verbal dan non verbal. Menurut Lofland (Moleong, 2003 : 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan dari subjek hanyalah sebuah catatan (informasi) yang tidaklah memberikan arti apapun sebelum dikategorisasikan dan direduksi. Jadi kemampuan peneliti adalah menangkap data, bukan sekedar mencerna informasi verbal tetapi mampu mengungkap dibalik tindakan atau bahasa nonverbal para responden.
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian sesuai dengan ruang lingkup yang diteliti. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian, baik dari dokumen maupun publikasi yang menunjang pokok pembahasan penelitian. Data dapat berupa data lisan, tulisan, dan tindakan yang diperoleh dari sumber informasi. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama dan didokumentasikan melalui catatan tertulis, pengambilan foto, ataupun film. Sedangkan sumber data lain seperti buku-buku, dokumen, surat kabar, dan lain sebagainya, tidak juga dapat diabaikan dan merupakan pelengkap untuk mengkonstruksikan realitas yang ada.


D. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan berdasarkan pengelompkkan data primer dan sekunder. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan melakukan pengamatan (observation). Hal yang paling utama dari teknik pengumpulan data ini adalah peneliti bertindak sebagai instrument pokok. Peran peneliti begitu penting dalam penjaringan data. Ciri-ciri umum manusia sebagai instrument mencakup segi responsive, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses data secepatnya, dan memanfaatkan kesempatan mencari respons yang tidak lazim atau idiosinkratik (Moleong, 2002 : 121). Jadi teknik ini mengarah logika penemuan (Logic of iscovery), suatu proses yang bertujuan menyarankan konsep-konsep atau membangun teori berdasarkan realitas nyata manusia (Mulyana,2002 : 167).
Untuk melengkapi hasil temuan dilapangan, peneliti pun melengkapi diri dua teknik pengumpulan data lainnya, yakni wawancara mendalam (in-depth interview), serta telaah berbagai dokumentasi yang ditemukan. Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh peneliti (Soehartono,1999:67). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali keterangan yang dibutuhkan dalam mengkonstruksi realitas yang ada. Pertanyaan harus dibuat luwes serta disesuaikan dengan kondisi kebutuhan, sehingga baik peneliti mapun responden dapat saling memahami.
Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2003:135) maksud mengadakan wawancara antara lain : Mengkonstruksi mengenai orang, kejasian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan kebutuhan lain; Merekonstruksi kejadian yang dialami masa lalu ; memproyeksikan harapan dimasa yang akan datang ; meverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain; Dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan data. Jadi wawancara dimaksudkan untuk melakukan refocus, klarifikasi, menggali kesadaran kritis, dan meminta penjelasan dan informasi kepada responden.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang bersumber dari dokumen-dokumen antara lain adalah data demografis dan data geografis yang dimiliki pemerinahan lokal, berita Koran maupun artikel majalah tentang Kabupaten Tasikmalaya, dokumen resmi, brosur, foto-foto, dan sebagainya. Data yang diperoleh merupakan data pendukung terhdapa hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan. Sumber dokumen lain seperti surat ataupun catatan pribadi yang sebenarnya dapat memberikan informasi penting, dalam hal ini tdak dimasukkan sebagai bahan kajian.

E. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Patton (dalam Moleong,2003:103), adalah proses mengatur urutan data, mengoragnisasikan kedalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sepanjang penelitian berlangsung. Hal ini dilakukan melalui deskripsi data penelitian, penelaahan tema-tema yang ada, serta penonjolan-penonjolan pada tema tertentu (Creswell, 1998 : 65). Teknik analisis data dilakukan sepanjang proses penelitian sejak penelitian memasuki lapangan untuk mengumpulkan data. Terkait dengan itu, teknk analisis data yang akan ditempuh peneliti melalui tiga tahap yaitu : reduksi data, penyajian (display) data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.



Gambar 4
Komponen-komponen analisis data : Model interaktif.










Sumber : Miles & Huberman, 1992






a. Kategorisasi dan mereduksi data yaitu, melakukan pengumpulan terhadap semua informasi penting yang terkait dengan masalah penelitia ini, selanjutnya data itu dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan.
b. Melakukan interpretasi pada data, yaitu dengan menginterpretasikan apa yang telah dierikan dan di interpretasikan informan terhadap masalah yang diteliti.
c. Pengambilan esimpulan berdasarkan susunan narasi yang telah disusun pada tahap ketiga, sehingga dapat member jawaban atas masalah penelitian.
d. Melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informan, yang didasarkan pada simpulan tahap keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan penelitian yang dapat mengaburkan makna persoalan sebenarnya dari fokus tentang penelitian ini.
Tahapan-tahapan dalam analisis data di atas merupakan bagian yang tidak saling terpisahkan, sehingga saling berhubungan antara tahapan yang satu dengan yang lain. Analisis dilakukan secara kontinyu dari awal sampai akhir penelitian, untuk mengetahui proses komunikasi politik yang terjadi di lembaga DPRD Kabupaten Tasikmalaya.

F. Teknik Pemeriksaan Kesalahan Data
Dua kriteria yang penting bagi objektivitas suatu penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (dalam Riawanti,2004) adalah keandalan (reliability) yang menyangkut langkah-langkah penelitian tersebut, dan kesahihan (Validity) yang berkaitan dengan isi penelitian tersebut. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah : teknik perpanjangan keikutsertaan peneliti di latar penelitian akan memungkinkan adanya peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Sedangkan teknik triangulasi dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dengan data lainnya dan juga dengan teori. Dengan demikian data yang telah ditemukan dapat terjamin derajat kepercayaannya. Adapun tekni diskusi dengan teman sejawat ini dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dari penelitian secara analitik. Dari diskusi inilah peneliti melakukan pengecekan kembali terhadap data yang kurang cocok atau kurang serasi dengan fokus penelitian.


G. Jadwal Penelitian

Penelitian direncanakan berlangsung antara bulan agustus 2005-februari 2007 dengan perincian jadwal sebagai berikut :
No. kegiatan Waktu Pelaksanaan


1 Konsultasi usulan proposal
2 Seminar UP
3 Perbaikan usulan proposal
4 Pengurusan surat ijin penelitian
5 Pengumpulan data
6 Pengolahan dan analisis data
7 Konsultasi
8 Ujian tesis
9 Perbaikan tesis














DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah,A.Chaedar,M.A.,Ph.D., 2003, Pokoknya Kualitatif : Dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif, Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya.
Althoff,Phillip., dan Michael Rush., 1997, Pengantar Sosiologi POlitik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ardianto,Elvinaro, 1999, Kehadiran Ilmu Komunikasi, Paradigma Komunikasi Politik Rezim dan Masyarakat Madani, dalam jurnal ikatan sarjana komunikasi Indonesia, Bandung : remadja Rosdakarya.
Blake,Red H., dan Edwin O.Haroldsen., 1979, A Taxonomy of Concepts in Communication, Toronto, Hasting House Publisher.
Creswell, Jhon W., 1998, Qualitative inquiry and Research Design : hoosing Among Five Traditions, Sage Publication, California.
Dance,Frank E.X., 1982, Human Communication Theory, New York, Harper & Row Publisher.
Effendy, Onong Uchjana, Prof., .A., 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, PT. Itra Aditya Bakti.
Fisher,B.Aubrey., penerjemah : Sujono Trimo, 1986, Teori-Teori Komunikasi. Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional , dan Pragmatis, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Garna, Judistira K., Prof.H.,Ph.D., 1997, Pemikiran Modern dan Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung , CV. Primaco akademika.
-------, 1999, Metoda Penelitian : Pendekatan Kualitatif , Bandung, CV. Primaco Akademika.
-------, 2001, Ilmu-Ilmu Sosial. Dasar-Konsep-Posisi, Bandung, CV. Primaco Akademika.
Hidayat, Agus Fatah, 2003, Pengaruh Partisipasi Organisasi Non Pemerintah Terhadap Perumusan kebijakan Publik di Kabupaten Tasikmalaya, Tesis, tidak dipublikasikan.
Koentjaraningrat, 1990, Metode-Metode penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Littlejohn, Stephen W., 1996, Theories of Human Communication, Edisi ke-5, Belmont-California, Wadsworth.
Magna,Kuntana.,1994, Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, Armico, Bandung
Manan,Bagir.,2001, menyongsong Fajar Otonomi daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.
Miller, Katherine.,2001, Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts, New York, The McGraw-Hill Companies, Inc.
Mitchell, Duncan., 1984, Sociology, An Analysis of Social System, Jakarta, PT. Bina Aksara.
Moleong, Lexy J.,2002, Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Muhtadi,Asep Saeful., 2004, Komunikasi Politki Nahdatul Ulama : Pergaulan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta.
Mulyana,Deddy,M.A.,Ph.D.,1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi : Meneropong Politik dan Kebudayaan Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
----------, 2001, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
----------, 2001, metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung , PT Remaja Rosda Karya
Rachman, Budi, 2005, Pengaruh Komunikasi Legislatif dan Eksekutif Terhadap Kinerja Aparat pemerintah di Kabupaten Tasikmalaya, Tesis, Tidak dipublikasikan.
Salim, Agus., 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (dari Denzin Guba dan penerapannya), Yogyakarta, Tiara Wicana.
Sendjaja, S. Djuarsa, Ph.D.,dkk., 1994, Teori Komunikasi, Jakarta,Universitas Terbuka- Jakarta.
Tubbs, Stewart L., Slvia Moss, 2000, Human Communication, Jilid I-II, Penerjemah Deddy Mulyana dan Gembira Sari, Bandung, PT Remaja Rosda Karya.
Yenrizal, 2003, Budaya “ Politik Kulit” dan Komunikasi Politik Demokratis di Indonesia, dalam mediator : Jurnal Komunikasi , Bandung : Fikom Unisba.
Sumber Lain
1. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
2. Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah
3. Undang-undang No. 17 tahun 2004 tentang keuangan negara
4. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah